SEJARAH GANG DOLLY
SEJARAH GANG
DOLLY
Konon,
Dolly di lokalisasi pelacuran disebut-sebut yang terbesar se-Asia Tenggara.
Betapa tidak, sedikitnya 9.000 lebih pelacur numplek jadi satu di kawasan
tersebut. Bahkan setiap tahunnya selalu diganti dengan PSK yang baru dan pria
berhidung belang kalangan atas
hingga bawah tak sulit ditemukan di kawasan Dolly. Tidak hanya penduduk lokal,
wisatawan asing pun tak jarang datang ke sini sekadar untuk memuaskan birahi.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain, misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu. Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri. Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain, misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu. Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri. Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Pada Hari Sabtu 12 April 2019 kemarin
telah diadakan sebuah penelitian oleh mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam yang dibimbing oleh dosen mata kuliah yang
bersangkutan bersama orang-orang hebat yang ada diarea masjid At-Taubah yang
terletak didalam gang dolly Jl. Kupang Gunung Timur VII B/141 Surabaya.
Berdirinya Masjid At-Taubah
Masjid yang berada di area
lokalisasi Dolly ini ternyata berdiri diatas tanah wakaf seorang mantan muncikari
yang insaf bernama Supri. Pada tahun 1987 tanah wakaf milik beliau dibangun
Musholla dengan nama Al-huda yang berarti petunjuk. Bangunan mushollah Al-Huda
tidak terlihat seperti Mushollah pada umumnya, karena mirip rumah gubuk yang
senantiasa berdatangan jamaah berjumlah 250 orang.
Karena jumlah jamaah semakin banyak dan sisa tanah yang masih luas,
tahun 1987 pengurus Mushollah dan Supri sepakat untuk merenofasi menjadi
masjid. Tanggal 17 Februari 1989, musholla Al Huda selesai direnofasi dan
diberi nama Masjid At Taubah oleh Alm. K.H Munawar Jailani yang berarti taubat.
Jum’at 17 februari juga merupakan khutbah perdana sholat jum’at di masjid
At-Taubah.
Hampir 25 tahun At-Taubah kokoh berdiri dengan perubahan yang
pesat. Kini masjid At-Taubah bisa berdiri dengan tiga lantai, lantai atas untuk
TK berbasic Islamiah dan juga untuk TPA (Taman Pendidikan Al-qur’an) dimana
para santri yang mengaji adalah warga yang ada di sekitar gang Dolly.
Dolly sudah ditutup oleh Ibu Tri Rismaharini
selaku Walikota Surabaya pada Rabu 18 Juni 2014 yang dibantu oleh IDIAL MUI Jatim. Dan resmi
dideklarasikan penutupannya oleh perwakilan masyarakat Dolly di Gedung Islamic
Center Surabaya.
Tetapi, setelah lima tahun lokalisasi Gang Dolly resmi ditutup, mulai muncul
lah kasus-kasus prostitusi melalui jalur online di Surabaya. Selain itu, terdapat
upaya-upaya para PSK yang menawarkan diri secara sembunyi-sembunyi via
makelar-makelar yang menawarkan secara sembunyi-sembunyi pula.
Penutupan
lokalisasi Dolly ini dibantu oleh para elemen-elemen dari bapak Sunarto dan
Ustadz KH Khoiron serta dibantu oleh Bapak Sunarto Sholahuddin. Yang dimana bapak
Sunarto ini merupakan seorang dokter prostitusi yang memiliki ide untuk penutupan
lokalisasi ini, lalu ustadz yang senantiasa memberi ceramah para WTS dan
mucikari serta bapak sholahuddin yang membatnu penutupan Dolly ini secara
finansial. Di proses penutupan ini, ustadz Khoiron juga bertemu dengan seorang
preman pimpinan lokalisasi yang sudah bertaubat hingga menemani ustad Khoiron
dalam berjuang untuk menutup daerah lokalisasi Dolly ini. Mantan preman itu
bernama Bapak H. Gatot Subiantoro. yang membantu dalam penutupan Dolly ini
bernama FORKEMAS (Forum Komunikasi Elemen Masyarakat Surabaya).
Sekitar tahun 2012, FORKEMAS (Forum Komunikasi Elemen
Masyarakat Surabaya) sudah berganti nama yaitu menjadi IDEAL (Ikatan Dai Area
Lokalisasi) MUI-Jawa Timur. Hingga akhirnya pada hari Minggu (21/2/2016), Wali
Kota Surabya, Ibu Tri Rismaharini mulai meresmikan kampung Dolly menjadi
“Dolly, Kampung Wisata Penuh Cerita”.
H. Sunarto Sholahuddin (pengusaha yang sangat
sukses)
Perjalanan owner perusahaan perikanan laut berkualitas internasional yang berpusat
di Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Yaitu bapak H. Sunarto Sholahuddin seorang
owner PT. Berkah Aneka Laut dan bendahara umum masjid Nurul Fattah yang
berlokasikan di Jl. Demak nomor 319, Surabaya ini sangatlah patut dijadikan
contoh
Beliau dilahirkan
di desa kecil daerah Menganti, Gresik. Disaat beliau beranjak dewasa, beliau merantau
ke kota lain dan mencoba mencari pekerjaan di kota lain yang beliau mulai dari
bawah seperti bekerja menjadi pelayan toko di Surabaya. "Saya pernah
bekerja sebagai pegawai restoran selama 5 tahun, kemudian berhenti karena
upahnya sangat kecil. Setelah itu, mulai mengembangkan bisnis penangkapan ikan
bersama keluarga dengan nama UD Aneka Laut."
Di dalam berdagang, bapak Sunarto mengikuti jejak
Rasulullah sewaktu masih berdagang dengan menerapkan prinsip-prinsip berdagang
Rasulullah agar dapat memperoleh berkah, yaitu :
Shidiq : Jujur, Fatonah : cerdas, kreatif dan inovatif, Tabligh : Komunikatif, Amanah : dapat dipercaya dan tanggung jawab.
Di PT. Berkah Aneka
Laut ini juga menerapkan ibadah dalam berdagang. Seperti, beberapa persen
penghasilan yang dihasilkan oleh perusahaan bapak Shola ini disumbangkan untuk
pondok pesantren, masjid, anak yatim, kaum dhuafa maupun para pejuang
keagamaan. Saling mendoakan perusahaan lain agar juga sama-sama sukses
seperti perusahaan bapak shola ini. Dan kunci dari berdagang ini hanya ada
3,yaitu :
1.
Rajin belajar dan berdoa, bermimpi dapat meraih
cita-cita setinggi-tingginya.
2.
Taati kedua orang tua dan para guru.
3.
ketika lulus kuliah, janganlah menunggu pekerjaan tetapi
cobalah untuk menciptakan pekerjaan.
Seperti yang
terjadi di Surabaya tepatnya disaat penutupan area lokalisasi Dolly Surabaya.
Perusahaan milik bapak Shola ini memberikan bantuan berupa finansial dari
penghasilan perusahaan beliau untuk membantu menutup lokalisasi Dolly ini serta
menyuplai dana untuk mendirikan tempat usaha bagi para mantan WTS dan Mucikari
agar bisa bekerja dengan pekerjaan yang baru dan halal tentunya. Selain itu,
beberapa persen dari penghasilan perusahaan PT. Berkah Aneka Laut ini juga
diberikan kepada para mantan WTS untuk melunasi hutang-hutang mereka agar bisa
terbebas dari para Mucikari dan agar bisa segera memulai pekerjaan baru.
Dr. H. Sunarto AS, MEI (Doktor Prostitusi/ IDEAL – MUI Jatim)
Bapak Sunarto AS Lahir di Surabaya
1959. Menempuh pendidikan Dasar di MI SABILASSALAMA Lulus 1973, melanjutkan
pendidikan ke ponpes Sidogiri Pasuruan mengulang ke MI MIFTACHUL ULUM
melanjutkan pendidikan ke jenjang Madrasah
Tsanawiyah di ponpes Tebuireng Jombang dan mengikuti ujian ekstrane Tsanawiyah
Negri di Tambak beras jombang. Melanjutkan ke Madrasah Aliyah Salafiya
Tebuireng jombang tahun 1979/1980. Masuk fakultas Dakwah jurusan PPAI IAIN
SUNAN AMPEL SURABAYA tahun 1980 lulus 1987. melanjutkan S2 Ekonomi Islam PPS
IAIN SUNAN AMEL SURABAYA lulus 2003. melanjutkan S3 PPS SUNAN AMPEL SURABAYA
jurusan Dirosah Islamiah lulus 2012.
Aktif di ASOSIASI PROFESI DAKWAH
ISLAM INDONESIA (APDI) Sebagai Sekretaris Jenderal 2009-2012, sebagai Ketua V
APDI 2012-2017. Sebagai Ketua Umum Ikatan Dai Area Lokalisasi(IDEAL) MUI Jawa
Timur yang mengawal penutupan lokalisasi di Kota Surabaya dan 47 lokalisasi di
Jawa Timur. Aktif sebagai Dai diberbagai tempat di Jawa Timur dan pernah
berdakwah di Hong Kong dan Macao. Buku
ciptaannya, yaitu :
Etika Dakwah 2011, Rethorika Dakwah 2012, Pidato
3 bahasa 2013, Kiai Prostitusi 2014, Detik-Detik
Runtuhnya Dolly 2015
Beliau
diajak oleh Kiai Prostitusi yang ada di daerah lokalisasi yaitu KH Khoiron
Syuaib untuk memberi pembinaan kepada WTS dan mucikari agar mau bertobat dari
pekerjaan mereka yang sekarang dan bisa mencari pekerjaan yang lebih halal.
Sebelum nya beliau
hanya berinisiatif untuk berdakwah secara individu di daerah lokalisasi tetapi
hasilnya tidak akan maksimal dan sangat membutuhkan waktu yang sangat lama
apabila dilakukan seara individu. Sehingga beliau mengajak para tokoh masyarakat yang lain seperti kiai Khoiron Syuaib selaku ustad di daerah
lokalisasi serta Prof. Ali Aziz selaku salah satu dosen universitas negeri
islam di Surabaya yang sudah mahir dalam bidang berkdakwah.
Bapak
Sunarto beserta elemen-elemen yang lainnya ini mulai mendirikan organisasi yang
bernamakan FORKEMAS (Forum Komunikasi Elemen Masyarakat). Didirikan tahun 2002,
Forkemas memiliki anggota yang terdiri dari perwakilan sejumlah ormas Islam,
NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya. Setelah elemen-elemen beliau terbentuk,
FORKEMAS mulai membagi tim mereka menuju ke tempat-tempat lokalisasi yang ada
di Surabaya untuk mengambil beberapa WTS dan Mucikari. Mereka diambil untk
diberikan pembinaan, dakwah serta pengajaran agama yang ditempatkan di asrama
haji oleh FORKEMAS.
Metode
yang pertama dilakukan oleh beliau adalah dakwah dengan metode Integratif
(menyeluruh). Beliau berdakwah di depan WTS dan mucikari itu secara menyeluruh
hingga dakwah beliau bisa masuk ke dalam hati dan juga fisik para WTS dan
mucikari ini.
Metode yang kedua adalah dengan metode Persuasif (pendekatan
manusiawi). Dakwah yang dilakukan oleh Bapak Sunarto ini adalah dengan
tidak pernah menyudutkan para WTS dan mucikari ini yang dimana justru oleh
masyarakat setempat ada yang memandang pekerjaan mereka ini jijik dan aneh.
Tetapi beliau beserta FORKEMAS ini merangkul para WTS dan Mucikari ini layaknya
saudara mereka sendiri, beliau berdialog dengan para WTS dan Mucikari ini
sehingga banyak dari mereka yang lebih terbuka kepada bapak Sunarto.
yang
ketiga
adalah metode dakwah dengan metode Solutif. Dakwah dapat dikatakan
berhasil apabila di dalam berdakwah juga disertakan solusi bagi para pendengar
dakwah agar bisa bangun dan bangkit. Seperti yang dilakukan bapak Sunarto
beserta FORKEMAS ini, beliau tidak hanya memberi dakwah dan ceramah agama
tetapi juga memberikan solusi bagaimana para WTS dan Mucikari ini bisa keluar
dengan yakin dari zona nyaman mereka.
Bapak
Sunarto beserta elemennya membekali para WTS dan mucikari dengan pengajaran
seni berupa menjahit, seni rupa ataupun yang lainnya. Beliau bekerja sama
dengan Dinas Sosial Surabaya agar bakat para WTS dan mucikari ini bisa
tersalurkan dan dapat dilihat oleh kalangan masyarakat luas
KH Khoiron Syu'aib (Kiai Prostitusi)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Khoirin, beliau seorang putra dari pasangan Bapak H. Syu’aib bin Kia Asim yang merupakan seorang
pendatang dari desa Karangturi, kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan dan Ibu
Muntayyah binti Kiai Mu’assan yang berasal dari desa Tanggul Rejo. Beliau lahir
di Surabaya, pada tanggal 17 Agustus 1959. Beliau terlahir di tengah-tengah “
dunia hitam ” yaitu di lingkungan prostitusi, di kelurahan Dupak, Bangunsari
kota Surabaya.
Pendidikan KH Khoiron Syu'aib,
beliau alumni MI Sabilal Muttaqin Surabaya, Mts Ponpes Tebuireng Jombang, MA
Ponpes Tebuireng Jombang, Sarjana Muda (BA) IKHA Jombang , Sarjana lengkap
(DRS) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Kehidupan beliau di lokalisasi Surabaya
khususnya lokalisasi Dupak dan Bangunsari sehari-harinya akrab dengan para WTS
dan Mucikari, karena beliau tinggal bersama se kelurahan dengan para Wts dan
Mucikari. Sampai beliau memiliki julukan yang khas di daerah lokalisasi
tersebut yaitu ‘Kiainya Para WTS
dan mucikari’. Selain itu, beliau juga membangun sebuah pondok pesantren
di Bangunsari yaitu Pondok
Pesantren Roudlotul Khoir
Beliau
sudah menulis buku yang berjudul “Kiai Prostitusi” yang dimana di dalam buku
tersebut tertera berbagai macam cerita beliau disaat berdakwah di area lokalisasi.
Metode
berdakwah yang sering beliau lakukan di area lokalisasi ini adalah dengan membacakan
sholawat nariah di musholla Al-Huda (nama awal sebelum menjadi masjid
At-Taubah) bersama dengan ta’mir mushollah al huda serta menyampaikan tausiah
rutin setiap selesai beribadah agar tausiah beliau dapat didengarkan oleh para
WTS dan Mucikari ini.
H. Gatot
Subiantoro (Mantan Preman Lokalisasi)
Kata-kata yang selalu dan senatiasa beliau ucapkan
kepada orang-orang yang mewawancarai beliau. beliau adalah mantan preman
atau bahkan mantan pimpinan preman di area lokalisasi Dolly p Hingga beliau dikenal dengan sebutan Bapak Gatot atau bapak mantan
preman.
Bang Tato yang terkenal karena seorang pimpinan preman yang sudah bertaubat tetapi
memiliki tato disekujur tubuhnya dan mulai mendirikan tempat potong rambut ayah
dan anak serta senantiasa memakai baju panjang untuk menutupi tato yang ada
ditubuhnya. Di Surabaya, anda akan melihat seseorang yang sama-sama pimpinan
preman tetapi tidak bertato melainkan bertempat tinggal dan bekerja di area lokalisasi
Dolly Surabaya. Beliau adalah Bapak H. Gatot Subiantoro, seorang mantan
pimpinan preman lokalisasi Dolly Surabaya yang sudah mulai bertaubat sejak tahun
2000-an. Bapak Gatot dan Bang Tato ini sama-sama mantan preman yang tidak jahat
walaupun pandangan orang menilainya salah “Preman itu bukan maling.” Ujar bapak
Gatot
pada saat itu beliau
mendengarkan rutinitas ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Khoiron. “Saat itu beliau ceramah biasanya. Tapi saat
mendengar kalimat ini, ‘Harta itu tidak ada batasnya, tapi kalau umur ada
batasnya’,
Bapak Gatot langsung melepaskan pekerjaan lamanya mencari calon PSK di berbagai daerah.
Pelosok Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah pernah ia jelajahi guna mencari
“mangsa”. Hingga akhirnya oleh ustadz Khoiron memberi pekerjaan baru yaitu
membantu dalam kegiatan pengentasan PSK, sekaligus menjadi salah satu pengurus
di Pondok Pesantren Raudlatul Khoir, pesantren yang dirintis oleh Kiai Khoiron
di belakang kediamannya. Selain itu bapak Gatot juga usaha berjualan mobil dan
bertaubat sungguh-sungguh untuk menghapus dosanya yang terdahulu.
Kesan
di dalam kuliah lapangan diatas
1.
mendapatkan pengalaman yang sangat berharga
2. bangga bisa bertemu dengan orang-orang yang hebat
3. lebih menyenangkan karena kuliah sambil jalan-jalan
4. terkejut dan heran karena mendengar kondisi
terdahulu yang pernah terjadi
Comments
Post a Comment